• facebook
  • instagram
  • twitter
  • mail
Short Story – Biru

Short Story – Biru

blue sky

Berada di pantai selalu membawaku pada satu nama.

 

Namanya Ombak Lautan. Hmm, pertama kali mendengar namanya, aku spontan mengernyitkan keningku. Nama macam apa itu? Tapi sebelum bertanya lebih jauh latar belakang dan sejarah pemberian namanya, ada satu pertanyaan penting. Aku harus memanggilnya siapa?

 

“Panggil apa saja yang menurut lo gampang.”

 

Hmm, aku sempat berpikir sejenak ketika dia memberiku kebebasan untuk memilih namanya. Ombak atau Lautan? Apapun nama panggilan yang mungkin untuknya masih saja terdengar janggal. Hingga aku memutuskan untuk memanggilnya Om, kependekan dari nama depannya.

 

“Lo dari tadi am-om am-om melulu apaan sih? Panggil yang lain kenapa sih?”

 

“Lha, bukannya dulu lo bilang terserah gue mau panggil apa. Mending juga gue panggil Om daripada Mbak.” Jawabku sewot.

 

“Sialan.”

 

Aku tertawa lepas melihat dia melengos kesal.

 

“Emang nama panggilan lo biasanya siapa sih?”

 

“Natan,” jawabnya singkat sambil tersenyum usil.

 

“Hah? Natan dari ujung sedotan?”

 

“Serius gue. Natan or Lautan won’t make a big difference.” Giliran dia yang tertawa lepas melihat ekspresiku.

 

Ah, rasanya baru kemarin kami tertawa lepas berdua. Menertawakan setiap kekonyolan yang baru saja kami lakukan hari itu. Tentu saja aku tidak mau mengubah nama panggilanku untuknya. Toh pada akhirnya dia mulai terbiasa dengan panggilan yang kuberikan. Ungkapan bahwa waktu akan membuat segalanya terbiasa memang benar adanya. Hanya saja dia tidak mengizinkan orang lain memanggilnya seperti itu kecuali aku.

 

“Lo tau nggak, Vin? Cuma lo yang gue bolehin panggil gue Om,” ucapnya tiba-tiba pada suatu sore.

 

“Iya, gue tahu. And l take it as a compliment. Trus?” Tanyaku dengan tatapan menyelidik.

 

“Trus apa?”

 

“Ya kayaknya kalimat lo belum selesai aja.” Pandangan mataku masih belum lepas darinya. Dapat kutangkap ada sesungging senyum dari sudut bibirnya. Bukan senyum manis yang mampu membuat wajah perempuan-perempuan di kampusnya bersemu merah, melainkan senyum penuh ide licik.

 

“Lo boleh panggil gue Om atau apapun sesuka lo. Tapi minggu depan lo harus mau temenin gue ke pesta nikahnya Andini ya, Vin. Please, masa ya gue dateng sendirian. Ketauan banget masih nge-jomblo.”

 

Tuh, kan. Dasar si Om satu ini pasti ada maunya. Aku paling tidak suka menghadiri pesta pernikahan, terlebih pesta pernikahan saudara atau teman lama. Alasannya hanya satu. Mereka tidak pernah kreatif. Pertanyaannya selalu dimulai dari “kapan lulus kuliah?” dan berujung pada “kapan nyusul nikah?” “Bukannya di teknik elektro banyak cowok keren ya?” Hmm, yakali cowok-cowok keren yang ada masih pada belum punya pacar.

 

Pada akhirnya akupun menyetujui permintaannya. Satu, karena aku tidak mau kehilangan panggilan “Om” untuknya. Kalau hal itu sampai terjadi, aku tidak tahu harus memanggilnya siapa lagi. Jangan pernah bilang aku harus memanggilnya Natan. Dua, aku tidak mengenal siapa itu Andini yang konon adalah mantan gebetan si Om semasa SMA. Tiga, itu artinya di sana tidak ada orang-orang yang kukenal. Dan yang terakhir, that’s what a friends are supposed to do, right?

 

Umm, baiklah, aku mengaku. Alasan terakhir sekaligus alasan paling kuat buatku untuk langsung mengiyakan permintaannya adalah karena acara resepsi pernikahan si Andini or whoever itu akan diadakan di Bali, di sebuah  tempat bernama The Bay Bali. Acara resepsinya akan diselenggarakan di pinggir pantai pada sore hari. Aku bisa membayangkan betapa sunset yang menjelang nantinya akan menambah keromantisan suasana pernikahan mereka. Aku pernah datang ke sana sekali. Memilih meja dengan view tepat menghadap laut dan memesan Asian cuisine andalan salah satu restoran yang di sana adalah surga tersendiri. Sebagai pencinta pantai, tidak mungkin kutolak ajakan mengunjungi pulau dengan keindahan lautnya itu. Semua pantai di Bali tidak pernah sedikitpun kehilangan pesonanya di mataku. Terlebih ketika sunset menjelang.

 

Dan benar saja! Semuanya begitu indah, begitu sempurna. Perhatianku sama sekali bukan pada sepasang pengantin yang tidak kukenal sama sekali itu. Aku sibuk mengamati kira-kira angle mana yang sempurna untuk mengabadikan sunset hari ini. Sementara si Om, lelaki yang meskipun berada dalam kerumunan tamu pesta ini masih saja terlihat menonjol karena postur tubuhnya yang tinggi dan tegap sempurna itu sibuk bergerilya mencicipi aneka hidangan yang tersaji sambil sesekali menoleh ke arahku dan memamerkan apapun yang baru saja dicomotnya dari meja saji. Aku hanya menggeleng geli. Untung saja dia tidak pernah absen berolah raga sehingga tubuhnya tetap terjaga meskipun selera makannya sangat mengerikan. Ouch, did I just talk about his body? Aku menggelengkan kepala kuat-kuat, berusaha mengusir pikiran-pikiran aneh dari kepalaku. Aku tidak akan membiarkan aura romantis pernikahan tepi pantai yang sedang membabi buta di sekelilingku ini meracuni pikiranku.

 

Lagi-lagi, semua itu rasanya baru terjadi kemarin. Dan sore ini, lelaki itu berdiri di sampingku. Berusaha menembus kenangan yang masih bercokol dalam ingatan kami masing-masing. Ah, suara debur ombak ini benar-benar membawaku pada kenangan tentangnya. Tentang dia yang bernama Ombak Lautan. Berdua kami memandang hamparan laut yang seakan tidak berbatas itu. Setelah beberapa tahun berselang, kami kembali mengunjungi tempat ini. The Bay Bali. Tempat dimana semuanya bermula.

 

“Vin, semalem lo nonton film Valentine’s Day nggak?” Tanyanya tiba-tiba dalam perjalanan pulang kami dari pesta pernikahan Andini malam itu.

 

“Yang ada Ashton Kutcher-nya itu?”

 

“Ah, lo yang diinget cuma Ashton Kutcher.”

 

“Lagian sejak kapan lo nonton film romantis begitu? Nggak pantes. Okelah nama lo memang puitis banget dan kita lagi ada di pulau yang konon romantis ini, tapi…”

 

“Sialan lo. Semalem gue iseng aja nonton film itu di kamar. Abisnya gue bosen. Lo diajak jalan malem ke Kuta nggak mau. Ada satu dialog yang gue inget banget.”

 

Belum habis keherananku bahwa dia menonton film itu, bertambah lagi satu keheranan bahwa ada dialog dari film romantis yang dia ingat!

 

“Adegan saat Ashton Kutcher lo itu nanya ke temannya, ‘How did you and your wife get it so right?’ Lo tau nggak si temannya itu jawab apa?”

 

Raut wajahku yang sampai beberapa saat sebelumnya masih berekspresi konyol mendadak tegang menebak ke mana arah pembicaraan Om. Tentu saja aku tahu apa jawaban temannya. Itu salah satu dialog yang juga sangat kuingat dari film itu.

 

“Hmm, emang temannya jawab apa?” Tanyaku gugup berpura-pura tidak tahu.

 

“Dia jawab, ‘Easy. I married my best friend.’

 

Dan di situlah semuanya dimulai. Ada sekitar enam minggu yang canggung di antara kami sebelum akhirnya dia meyakini bahwa perasaannya benar. Bahwa perasaanku juga sama. Tidak banyak yang berubah. Aku tetap memanggilnya Om.

 

“Ya asal lo nggak keberatan aja kalo dikira pacaran sama Om-Om.” Jawabnya datar kala itu.

 

Aku mulai mengenal sisi lain dari dirinya yang selama tiga tahun bersahabat dengannya belum pernah kutahu. Sisi bahwa sebenarnya di dalam sosok lelaki berwajah angkuh itu ada sosok yang romantis. Seperti yang dia lakukan satu bulan sebelum keberangkatannya ke Perth untuk mengambil gelar masternya.

 

You are my best friend as well as my lover.

And I do not know which side of you I enjoy the most.

I treasure each side, just as I have treasured our life together.

 

Sebuah dialog dari film The Notebook yang selalu berhasil membuatku terharu itu dia tulis di atas secarik kertas. Iya, dengan tulisan tangannya! Ah, entah hal ini menambah poin keromantisannya atau tidak mengingat tulisannya yang mengingatkanku pada tulisan keponakanku yang masih SD. Yang pasti, dia mengakhirinya dengan sebuah kalimat, “Will you marry me, Vina Apriana?”

 

Sungguh, berada di sampingnya sore ini berhasil memutar kembali semua kenangan itu. Lagi-lagi, rasanya baru kemarin. Namun entah mengapa sebenarnya aku sudah merasa bahwa cepat atau lambat saat ini akan tiba. Saat dimana pada akhirnya dia melarangku memanggilnya Om lagi.

 

“Jangan panggil aku Om lagi.”

 

Ucapannya inilah yang menyadarkanku bahwa ada hal-hal yang telah berubah. Aku yakin dia bisa menangkap keterkejutan di mataku.

 

“Iya, jangan panggil aku Om lagi. Nanti Biru ikut memanggilku Om,” ucapnya yang langsung kusambut dengan tawaku.

 

“Akan kupastikan Biru memanggilmu Ayah.”

 

Dia pun tersenyum lebar sembari merebahkan kepalaku dengan lembut di bahunya. Sedangkan di pangkuannya, seorang gadis kecil berabut ikal sedang asyik berceloteh. Namanya Biru Lautan. Usianya beranjak dua tahun. Semoga kelak dia beranjak remaja tidak ada yang mempertanyakan nama macam apa itu.

 

Senja mulai menjelang. Dulu, bagiku bahagia adalah mendapatkan foto sunset yang sempurna di setiap pantai yang kusinggahi. Namun kini, kebahagiaan seakan menunjukkan wajah lainnya kepadaku. Bahwa bahagia cukup dengan menikmati bola api raksasa itu tenggelam dan mengubah warna langit menjadi jingga sempurna bersama orang-orang yang sangat kucinta ini. Yeah, this is more than enough.

 

*******

Cerpen ini diikutsertakan dalam Proyek Menulis Letters of Happiness : Share Your Happiness with The Bay Bali & Get Discovered!

 

– pim 160414 –

gambar : mysuckromance.blogspot.com

Doing something we love is fun, right? And I love food traveling, reading, watching movie, writing, and crafting sometimes..:-) -- Seorang farmasis, karyawan di salah satu perusahaan farmasi di Indonesia :) Yang meyakini bahwa menjadikan pekerjaan sebagai hobi, atau menjadikan hobi sebagai pekerjaan adalah sesuatu yang luar biasa..!! -- Yang suatu saat bisa berkata : "People call it work, but I call it hobby" --

6 Comments

  1. dian farida · December 30, 2013 Reply

    Kerasa romance nya. Ketawa-ketawa sendiri bacanya:)

  2. Fahrizal D. Nugraha · August 23, 2014 Reply

    Kayaknya pengalaman pribadi niy? 😉😉😉

  3. arisdian · November 8, 2014 Reply

    Sempet mikir kemana akhirnya cerita ini bermuara..hehehehe..

  4. Yolla · April 12, 2016 Reply

    kerennnnnn, romance so sweet bgt

Leave a Reply to arisdian Cancel reply