• facebook
  • instagram
  • twitter
  • mail
Goodbye is Goodbye

Goodbye is Goodbye

Hei, ada apa dengan hari Jumat dan kemacetan ibukota? Sedemikian mesranyakah mereka hingga harus selalu bersama tiap akhir pekan? Kemesraan yang aku yakin tidak akan bisa dinikmati pengguna jalan manapun. Termasuk aku. Oh salah, terutama aku. Tapi itu tadinya. Ya, tadinya. Sebelum aku memutuskan untuk membelokkan kendaraanku ke salah satu rest area terdekat yang selalu menjadi pilihanku. Dan bertemu dia.

.

“Terima kasih”, ucapku kepada seorang laki-laki yang dengan sigap menggeser gelas minumnya seakan memberiku ruang.

 

Well, bad timing, Fia. Bad timing. Rupanya rest area ini pun penuh. Mendapatkan area parkir adalah pencapaian luar biasa sore ini. Dan kafe yang kudatangi ini pun tidak luput dari tempat persinggahan para pengguna jalan yang juga memilih berpaling dari kemesraan dua sejoli bernama macet dan Jumat, sepertiku.

 

Tanpa bermaksud terlalu memperhatikan lelaki yang sudah berbaik hati tadi, aku sangat familiar dengan parfum yang dipakainya. Mirip aroma parfum seseorang yang sangat dekat denganku. Dulu. Itu seakan membuatku otomatis menengokkan sedikit kepala ke arahnya. Sedikit memperhatikannya. Kemeja biru laut dengan kedua lengan digulung sampai batas siku. Tulang rahangnya menonjol dengan beberapa rambut halus tumbuh di sekitarnya. Mungkin besok pagi adalah saatnya bercukur.

 

“Sering kabur ke sini ya?”

 

“Eh?” bukan hanya terkejut dengan pertanyaan itu, aku juga melakukan gerakan bodoh dengan menengok ke samping kananku. Ada seorang lelaki yang usianya mungkin beberapa tahun lebih muda dariku, seorang penggemar AC Milan tampaknya, sedang asyik menatap layar ponselnya. Jadi pasti bukan lelaki itu yang dia ajak bicara.

 

“Oh, engga juga, kebetulan aja..” jawabku sambil menyisipkan rambut ke samping telinga kananku.

 

“Ooooh”

 

Tadinya aku tidak mengerti dengan jawaban “ooo” panjang yang dia ucapkan, hingga kami telah menghabiskan hampir dua jam untuk mengobrol dan dia mengatakan sesuatu yang membuat wajahku menghangat.

 

“Kalau saja sore ini sudut favorit kamu kosong, kita pasti akan duduk sendiri-sendiri, seperti jumat-jumat sebelumnya.” Ucapnya sambil mengarahkan dagunya ke arah tempat duduk di sudut kafe, tempatku biasa menunggu kemacetan sedikit terurai.

 

Mungkin jika aku menceritakan ini kepada Ivana, sahabatku, dia akan berteriak, “How scary, Fia! Selama ini dia memperhatikan lo!”

 

But hey, for me that’s sweet. How a stranger like him, I mean a hot stranger like him..

 

Dan sudah lama tidak ada seorang lelaki yang bisa membuat wajahku menghangat seperti barusan. It’s been more than 2 years. Sejak lelaki dengan parfum khas yang kusuka itu menghilang begitu saja. Yup. He was just disappeared. He didn’t even say goodbye.

 

Dan itulah salah satu alasan mengapa aku meninggalkan Jogjakarta. Mengambil tawaran salah satu penerbit besar untuk mengisi salah satu kolom majalah mingguan mereka. Salah satu impianku sejak SMA. Sejak aku memutuskan mengikuti kegiatan ekskul majalah sekolah pada tahun pertama dan menjadi pimpinan redaksi pada tahun ke dua. Apa yang orang bilang benar, bahwa keputusan apapun yang kita buat bisa jadi akan mengubah hidup kita. Termasuk membiarkan Pram pergi. Ah, akhirnya aku bisa mengucapkan namanya. Juga keputusan mengambil tawaran kerja di Jakarta. Berharap semua kenangan tentang Pram akan tertinggal di sana. Meskipun kini aku sering merasa terjebak dengan segala kerumitan ibukota. Jauh dari segala kesederhanaan Jogjakarta, di mana jarak dari rumah ke kantorku dulu hanya perlu 15 menit. Aku bahkan sering pulang untuk sekadar makan siang masakan Ibu. What a memories.

 

“Don’t worry. I won’t bite.” Ucapan lelaki itu membuyarkan lamunanku. Lalu kami tertawa.

 

“See you again?” tanyanya ketika aku sampai di mobilku.

 

“Okay, who scares?”

 

Dari kaca spionku yang mulai menjauh, aku masih melihat Ryan, lelaki itu berdiri dengan kedua tangannya dimasukkan ke saku celananya, memandangku menjauh. Dear friday, I will miss you. I will also miss your mate, your traffic jam.

 

Lucu ya, bagaimana sekadar keputusan untuk berhenti di rest area mempertemukanku dengan orang seperti dia. Entahlah. Aku hanya merasa nyaman berbincang dengannya. Meskipun kalau kuingat, bahkan hingga pertemuan kami berikut-berikutnya kami tidak saling bertukar nomor ponsel.

 

“Aku sudah punya akun instagram.” Katanya saat itu. Well, dia bukan tipe lelaki yang suka berseliweran di media sosial. Hingga pada suatu Jumat malam dia melihatku memotret secangkir kopi dan donat yang kemudian kuunggah di instragram.

 

“Bagus,” pujinya singkat sambil membetulkan letak kacamatanya dengan jari telunjuk kirinya sementara jari tangan kanannya menggeser-geser koleksi fotoku yang ada di akun instagramku.

 

*****

 

Jumat sore ini, aku kembali memandangi kemesraan dua sejoli bernama macet dan Jumat itu di sudut favoritku di kafe ini. Sendiri. Entah sudah berapa kali Jumat berlalu sejak kami terakhir bertemu. Ah, setidaknya kali ini aku tahu kenapa dia menghilang. Jumat, beberapa minggu lalu ketika aku mendapatkan sebuah comment untuk salah satu foto yang kuunggah.

 

“Bagus,” tulisnya singkat. Aku hanya bisa membalas “terima kasih” setelah berkali-kali mengetikkan kalimat macam “hei, apa kabar?” atau “hei, kamu ke mana aja?” yang kemudian semuanya kuketik beberapa kali lalu kuhapus lagi.

 

“Halo, Fia ya?” Sapa seorang lelaki yang wajahnya nampak tidak terlalu asing bagiku membuatku kembali menyadari apa yang sedang kulakukan di sini.

 

“Iya, ummm, Rizal ya?”

 

Dia hanya mengangguk sambil tersenyum manis, meletakkan ponselnya di atas meja. Aku sempat mengerutkan kening ketika sekilas melihat ponselnya. Lambang AC Milan pada casing ponselnya masih kuingat. Ya, beginilah kolumnis gosip. Sangat baik mengingat detil. Aku ingat di mana aku pernah melihatnya. Malam itu, beberapa bulan yang lalu, malam ketika aku bertemu Ryan pertama kali.

 

“Tar sebelum pulang gue akan ingetin dia untuk cuci kaki dan tangan sebelum bobo. Dia seumur adek gue. Sialan lo.” Ketikku membalas BBM Ivana sambil membayangkan Ivana akan tertawa terbahak-bahak hingga matanya hanya tampak sebagai garis lurus.

 

Well, aku tidak tahu bagaimana keputusan yang kubuat beberapa hari lalu ini akan mengubah hidupku. Menuruti keinginan Ivana untuk merencanakan blind date untukku. Aku perlu sesuatu yang beda, katanya saat itu. Yeah, aku tidak suka sesuatu yang spontan. Setelah menolak berkali-kali, aku pun mengiyakan. Dengan satu syarat. Aku memilih tempat yang sudah familiar bagiku. Bertemu orang asing bukanlah salah satu list dalam daftar kegemaranku. Dan satu lagi. Setelah delapan minggu berlalu, aku ingin merasakan apakah bayangan Ryan sudah benar-benar hilang. Ternyata aku salah. Profil picture pada instagramnya yang tidak pernah digantinya sejak ia pertama kali membuat akun saat itu, telah berubah. Sebuah foto pernikahan. Dia dengan perempuan yang entah bagaimana tidak pernah ada dalam topik pembicaraan kami. Dan itu sudah cukup bagiku untuk mengartikannya sebagai ucapan perpisahan darinya.

 

Dulu ketika Pram meninggalkanku tanpa penjelasan, menyisakan berbagai pertanyaan. Apakah dia meninggalkanku begitu saja supaya aku membencinya dan dengan begitu aku akan lebih mudah melupakannya? Apa yang salah dengan hubungan kami? Namun kini setelah Ryan juga menghilang dengan alasan yang baru kutahu beberapa waktu lalu, ternyata aku sadar bahwa tidak ada perpisahan yang lebih baik. Goodbye is goodbye. Still hurts.

 

*****

 

– 131214 –

Terpilih sebagai salah satu pemenang #TantanganNulisKPP @GagasMedia, 13 Desember 2014

Doing something we love is fun, right? And I love food traveling, reading, watching movie, writing, and crafting sometimes..:-) -- Seorang farmasis, karyawan di salah satu perusahaan farmasi di Indonesia :) Yang meyakini bahwa menjadikan pekerjaan sebagai hobi, atau menjadikan hobi sebagai pekerjaan adalah sesuatu yang luar biasa..!! -- Yang suatu saat bisa berkata : "People call it work, but I call it hobby" --

7 Comments

  1. Tomi Azami · December 14, 2014 Reply

    wah selamat ya udah menang. keren banget tulisannya. berasa ada di kafe itu dan melihat itu semua.

  2. ulll · January 16, 2015 Reply

    Goodbye is goodbye.. still hurts.. but still hope for a hello someday..

  3. Erry Kusumawarti · June 7, 2015 Reply

    Bagus banget. Ikut terhanyut dalam ceritanya. You’re right! Goodbye is goodbye. And it’s very very hurts 🙁

    • Pipit Indah Mentari · June 7, 2015 Reply

      Yup. Goodbye is goodbye. Still hurts.
      Btw, makasih banget sudah baca ya 🙂

  4. Susie · June 9, 2015 Reply

    Nice Pit..
    Nulis terus ya.. *kisskiss*

Leave a reply