• facebook
  • instagram
  • twitter
  • mail
Short Story – Pada Secangkir Teh

Short Story – Pada Secangkir Teh

(Cerpen dimuat di Majalah Femina No. 1/XLII, 4 – 10 Januari 2014, Pemenang II Sayembara Cerpen Femina 2013)

Pada Secangkir Teh + Tulisan

 

Aku membawa dua cangkir teh melati, satu untukku dan satu untuknya. Kuletakkan kedua cangkir warna putih gading dengan motif pinggiran daun-daun kecil di sekelilingnya itu di atas meja teras rumahku yang menghadap ke kebun tanaman obat keluarga. Aku sengaja menyeduh dan menghidangkannya beberapa menit sebelum dia datang. Dia tidak suka minuman panas. Sepuluh menit lagi, udara dingin kota hujan sore ini akan mampu mendinginkan teh yang masih mengepul itu.

 

Mengetahui dia tidak menyukai minuman panas, termasuk teh dan kopi, sempat membuatku mengernyitkan dahi. Bukannya kedua minuman tersebut justru lebih nikmat dihidangkan ketika kepulan asapnya masih mampu membawa aroma wanginya memanjakan penciuman kita. Bukankah begitu?

 

Ternyata tidak.

 

Jadilah selepas hujan mengguyur kota hujan dengan liar sore hari itu, beberapa tahun yang lalu, kami menikmati sepotong senja dengan cara yang berbeda. Aku menikmati secangkir teh panas yang kuseruput perlahan dan segera kurasakan wangi dan hangatnya memenuhi rongga dadaku. Sedangkan dia masih membiarkan cangkir teh miliknya diam di atas meja sambil sesekali mengayunkan secarik kertas untuk mengusir panasnya. Itulah pertama kalinya aku menemukan ada perbedaan di antara kami berdua.

 

“Bagaimana kamu tahu serasi atau tidaknya kalau semuanya sama?”

 

Kalimat itu diucapkan oleh salah seorang sahabatku pada suatu malam ketika kami sedang mencoba beberapa potong baju yang akan kami pakai untuk reuni SMA.

 

Tapi bukankah memang biru muda akan serasi dengan biru tua? Putih akan serasi dengan krem? Abu-abu serasi dengan hitam?

 

“Kamu selalu mencari gradasi. Hampir sama. Sama itu membosankan.”

 

Benarkah? Tapi mengapa aku tidak pernah merasa bosan dengan dia? Padahal kami sama. Sama-sama menyukai senja. Sama-sama gila sambal. Sama-sama popular di kampus. Aku popular karena hasil bidikan kameraku yang rajin menghias majalah bulanan kampus, dan dia popular karena tiap bidikan bolanya jarang meleset dari keranjang bola basket. Satu lagi. Kami sama-sama membenci esense stroberi.

 

“Seperti rasa sirop obat batuk,” jawabnya ketika mencicipi biskuit dengan krim stroberi.

 

Mataku terbelalak ketika dia berkata seperti itu. Serius? Bagaimana mungkin ada orang yang membenci esens stroberi dengan alasan begitu? Alasan yang sama persis dengan alasan aku juga membenci esens stroberi.

 

Lihat kan? Sama tidak selamanya membosankan. Justru kami sering menertawakan kesamaan kami yang meskipun bagi orang lain aneh. Seperti kebencian kami terhadap esens stroberi tadi.

 

Aku selalu bersyukur dan menikmati tiap kesamaan kami. Kecuali satu hal. Serasa ada sesuatu yang tiba-tiba mengempas tubuhku tiap kali aku memikirkan hal ini.

 

“Aline, kenalin pacarku,” ucapnya padaku suatu sore dengan wajah yang ceria.

 

“Hai…,” ucapku sambil tersenyum.

 

Gimana, keren nggak pacarku?” tanyanya dengan mata berbinar-binar.

 

“Keren, ya tipe kamu banget”, jawabku datar.

 

“Kali ini aku mau serius sama yang satu ini. Aku bosen mainin anak orang”

 

“Jadi kamu ngaku kalo selama ini memang mainin anak orang?”

 

“He… he… he… enggak juga sih, Lin. Enggak tahu kenapa sama yang satu ini aku ngerasa pas.

 

Ingin rasanya aku menertawakan kalimat yang dia ucapkan, tapi entah mengapa aku melihat ada keseriusan di matanya. Aku merasakan ada kesungguhan dalam ucapannya. Yang entah bagaimana kesungguhannya yang kurasakan itu menorehkan bermacam rasa yang mendesak dadaku. Cemburukah? Atau mungkin hanya perasaan takut? Takut akan kehilangan dia.

 

*******

 

Menahan perasaan suka kepada seseorang yang kita cintai selama bertahun-tahun tidak menjadikan aku terbiasa. Justru makin tersiksa. Di titik inilah aku baru menyadari bahwa menyembunyikan rasa benci kepada orang yang bersama dengan kita hampir tiap hari mungkin jauh lebih mudah daripada menyembunyikan perasaan cinta. Dan selalu berada di dekatnya akan makin menyakitiku.

 

Perlahan tapi pasti aku mulai menarik diri. Menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas kuliah. Tidak heran bila kuliahku selesai dalam waktu tiga setengah tahun saja. Aku mulai membuka hati untuk Pram, lelaki yang mendekatiku selama dua tahun terakhir.

 

“Kamu sombong, Lin. Punya pacar enggak dikenalin. Pantesan tiap diajakin nonton sibuk melulu,” cerocosnya ketika aku mentraktirnya makan siang usai sidang skripsiku.

 

“Ha… ha… ha… bukan itu. Aku beneran sibuk bikin skripsi,” jawabku tanpa menatap matanya.

 

“Aku mau balik ke Bogor, mau cari kerja di sana,” lanjutku, masih tanpa menatap kedua matanya. Aku tahu akan ada sesuatu yang luruh dari sudut mataku jika aku melakukannya.

 

Hah? Serius? Kapan?”

 

“Sebulan lagi, setelah wisuda.”

 

*******

 

Itulah terakhir kali kami bertemu. Tujuh tahun yang lalu. Dia kembali menghubungiku seminggu yang lalu, setelah acara reuni kampus kami. Aku tidak bisa datang ke Surabaya saat itu. Pekerjaan di kantor tidak membiarkan aku untuk mengambil cuti seharipun. Apalagi menjelang akhir tahun seperti saat ini.

 

“Aline, kamu ke mana aja?” suaranya terdengar antusias, seperti dulu.

 

Suara yang sudah berhasil kusingkirkan dari hening malam-malamku. Dan pertemuan yang kami rencanakan sore ini mungkin sudah diatur sedemikian rupa oleh sang waktu. Dia ada dinas kantor ke Bogor selama tiga hari. Tanpa menunggu komando lagi, dia sibuk mengatur jadwalnya agar kami bisa bertemu.

 

Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di teras menunggu kedatangannya. Tetap menjaga perasaan yang sudah kubungkus rapi selama bertahun-tahun ini. Aku tidak akan membiarkan tatap matanya menerobos masuk dan mengacak-acaknya.

 

Mungkin banyak yang berpendapat sekarang sudah bukan zamannya lagi perempuan memendam perasaannya, sudah bukan masanya lagi perempuan tidak boleh menyatakan cinta lebih dulu. Tapi buat aku, bukan waktu yang membuat pernyataan itu menjadi berlaku atau tidak berlaku. Bukan tentang dulu atau sekarang. Tapi ini tentang dia. Tentang aku dan dia. Bukan hanya karena aku dan dia sudah bersahabat lama, yang apabila aku menyatakan perasaanku bisa jadi sangat mungkin kami akan saling menjauhi, atau malah saling membenci. Bukan hanya karena itu.

 

Aku memandang secangkir teh di hadapanku. Kepulan asapnya mulai berkurang. Tepat pada saat itulah aku melihatnya memasuki pekarangan rumahku. Keheningan sore itupun pecah oleh suara tawanya. Suara tawa kami. Dua orang sahabat yang saling melepas rindu.

 

“Masih sama Pram?” tanyanya.

 

“Ha… ha… ha… sudah lama enggak sama dia.”

 

Lalu mengalirlah ceritanya. Dia jadi menikah dengan pacar yang dikenalkannya kepadaku waktu itu. Mereka sudah dikaruniai seorang putra, usianya tiga tahun. Sedangkan aku bercerita tentang berakhirnya hubunganku dengan Pram tidak lama setelah kepindahanku ke Bogor. Kami berbagi semua tujuh tahun yang tidak kami lewati bersama. Semuanya, kecuali satu hal. Tentang usahaku selama tujuh tahun ini untuk membunuh perasaanku terhadapnya.

 

Ada hal-hal yang lebih baik tidak dikatakan.

 

Sepotong senja itu kami lewati seperti dulu. Kali ini dengan cara yang sama. Aku dan dia sama-sama menyeruput teh yang tak lagi panas. Pada secangkir teh yang kami nikmati bersama sore itu, aku melarutkan semua perasaanku yang telah lalu. Menitipkan sebuah keyakinan baru. Apa yang telah kami miliki saat ini sudah cukup. Aku akan melanjutkan hidupku. Aku dengan lelakiku nantinya. Dan dia dengan lelakinya.

 

Kali ini aku bisa menatap wajahnya tanpa jengah. Dia masih secantik dulu.

 

*******

– pim 130913 –

Doing something we love is fun, right? And I love food traveling, reading, watching movie, writing, and crafting sometimes..:-) -- Seorang farmasis, karyawan di salah satu perusahaan farmasi di Indonesia :) Yang meyakini bahwa menjadikan pekerjaan sebagai hobi, atau menjadikan hobi sebagai pekerjaan adalah sesuatu yang luar biasa..!! -- Yang suatu saat bisa berkata : "People call it work, but I call it hobby" --

4 Comments

  1. afkar · August 23, 2014 Reply

    Sudah hampir tengah malam tapi mata ini masih belum juga mengantuk apakah karena efek kopi ini yang membuatku terjaga atau karena panasnya Surabaya yang membikin gerah.
    Tiba-tiba teringat alamat situsmu yang baru kutemukan di status WA-mu sore ini…ya kali aja menemukan sesuatu yang baru dan….akhirnya baru malam ini aku dapat menikmati “Pada secangkir Teh” mu…
    Kutemukan kekuatan romansa didalamnya….
    terus berkarya sahabat….

  2. arisdian · November 8, 2014 Reply

    Hanya satu kata..
    Wow..
    Jadi inget beberapa tahun lalu saat mbak pipit menanyakan kegiatanku n aku bilang kalo aku jadi freelance writer untuk konten web, mbak pipit sangat antusias wanna be a writer also.
    Sekarang aku udah gak jadi fw lagi mbak. I have my own lil company yang punya fw 🙂
    Aku sendiri mulai menghias blogku dengan pengalaman2 sehari2.
    Same hobby, different way #cucok hahahahahaha..
    Semoga karya2 mbak pipit bisa bersanding dengan karyanya Hamka, Tere Liye, Ari Nur (Diorama,Dilatasi,Sketsa.. Udah pernah baca belum mbak?)
    Info yaaaa kalo udah terbit bukunyaaaa..

  3. Yolla · April 12, 2016 Reply

    “Aku dengan lelakiku nantinya. Dan dia dengan lelakinya.”
    kalimat terakhir ini membuyarkan bayanganku tentang sesaknya memendam rasa suka dengan seseorang… kalimat ini salah ketik atau aku yang salah paham dengan maksud cerita ini…
    hai mbak pipit saya suka baca cerpenmu, tapi setelah aku baca ending cepen ini, aku resah nggak komen…maaf kalau aku salah…
    aku juga suka bikin cerpen tapi share nya cuma di blog sendiri karna belum bisa sebagus cerpen mbak…hehe

Leave a Reply to Pipit Indah Mentari Cancel reply