• facebook
  • instagram
  • twitter
  • mail
A Smooth Sea Never Made A Skillful Sailor

A Smooth Sea Never Made A Skillful Sailor

perahu1

Dua hari lalu saya menonton film berjudul “The Pretty One” yang berkisah tentang gadis bernama Laurel yang berpura-pura menjadi Audrey, saudari kembarnya yang telah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Audrey bukan hanya sekadar saudari kembar bagi Laurel, namun juga sahabat yang ia percaya dan juga mempercayai segala kelebihan dan kemampuan yang ia miliki di saat orang lain meremehkannya. Audrey adalah sosok yang ia idolakan. Laurel ingin menjadi seperti Audrey, meski Audrey berkali-kali menekankan padanya bahwa tidak ada hal yang lebih baik selain menjadi diri kita sendiri.

Hanya saja kematian Audrey yang mendadak dan sama sekali tidak pernah Laurel bayangkan sebelumnya jelas merupakan pukulan berat bagi Laurel. Sebuah kehilangan besar. Hingga Laurel ingin mengetahui bagaimana Audrey menjalani kehidupannya sehari-hari di kota, berinteraksi dengan teman dan pekerjaannya. Mengetahui bagaimana menjalani hidup sebagai Audrey.

Laurel pun pergi meninggalkan “sungai” dengan riak kecilnya yang biasa ia arungi dengan perahu kesederhanaan dan berbagai rutinitas yang menyertainya menuju lautan yang sama sekali belum Laurel kenal bagaimana arah angin dan ombaknya. Setidaknya begitulah saya menggambarkan kehidupan yang dijalani Laurel dan Audrey. Physically, tidak ada kesulitan yang Laurel alami karena mereka berdua memang kembar identik. Namun karakter Laurel sebagai gadis yang kurang mahir bergaul dan cenderung menghindari perhatian cukup menyulitkannya dalam menjalani kehidupannya sebagai Audrey, terutama dalam lingkungan pergaulan dan pekerjaannya sebagai tenaga pemasaran di sebuah agen property. Basel, lelaki yang menyewa sebagian rumah Audrey menyadari perbedaan tersebut. Ia bingung bagaimana seorang Audrey yang ia kenal galak dan tidak bersahabat dengannya mendadak menjadi sosok yang baik dan ramah. Begitu pun Claudia, sahabat dan juga rekan kerja Audrey.

Meski begitu, pelan namun pasti Laurel mulai bisa menyesuaikan diri. Bahkan ia pun terkejut mendapati dirinya berhasil menjual sebuah rumah yang baru saja ia presentasikan kepada calon pembeli. Ia mulai menikmati menjadi Audrey. Ia mulai merasa tidak lagi terombang-ambing di tengah lautan. Ia mulai dapat menjaga keseimbangan laju perahunya mengarungi mengarungi lautan. Ia menjalin kedekatan dengan Basel. Semua berjalan seperti yang ideal menurut Laurel, hingga Basel melamarnya.

“Will you marry me, Audrey? I love you since the first time I met you.”

Laurel tahu bahwa dirinya memiliki perasaan yang sama. Laurel juga menyadari bahwa betapa saat itu ia ingin menjerit dan menerima lamaran lelaki yang berhasil membuatnya jatuh cinta itu. Namun ia juga menyadari satu kenyataan bahwa perempuan yang membuat Basel jatuh cinta sejak pertama kali mereka bertemu adalah Audrey. Bukan dirinya. Belum lagi kenyataan yang baru ia tahu bahwa Audrey pernah memiliki sebuah affair dengan lelaki bernama George yang adalah suami dari atasannya. Hal ini membuat Laurel kehilangan pekerjaan yang sebenarnya mulai ia sukai. Laurel mulai menyadari bahwa menjalani kehidupan sebagai Audrey memiliki kerumitan tersendiri.

Kejadian ini bagai ombak besar yang dalam sekejap siap melumat perahu yang sedang Laurel kemudikan. Perahu yang sesungguhnya ia tahu betul belum siap untuk menghadapi tantangan ombak sebesar itu. Laurel pun memutuskan untuk kembali pada sungai dengan riak kecil yang biasa ia lalui sebelumnya. Mengatakan kepada keluarga dan orang-orang yang ia kenal bahwa dirinya adalah Laurel, bukan Audrey. Namun justru di saat inilah tampak ketulusan dari beberapa orang dekatnya bahwa mereka tulus menyayanginya. Bahkan Basel masih mencintainya. Mencintai kepribadiannya sebagai Laurel, bukan Audrey.

The good thing is, dengan menjalani kehidupannya sebagai Audrey, Laurel seakan menemukan potensi dirinya yang selama ini sama sekali belum pernah ia gali. The not too good thing is, ia melakukannya dengan cara berpura-pura menjadi orang lain.

Apa yang pernah Audrey katakan di beberapa bagian dalam film itu benar, bahwa tidak ada hal yang lebih baik selain menjadi diri sendiri. Menjadi diri sendiri namun bukan berarti hanya mengikuti arus sungai yang sudah sangat kita kenal dan hapal riaknya, meski hal itu memang terasa sangat menyenangkan. Hingga sering kali muncul perasaan cukup di mana kita sekarang berlabuh dan membuat kita enggan berlayar lagi. Yang sering kita lupa adalah bahwa sungai yang tenang justru dapat menghanyutkan. Salah seorang teman saya mengatakan bahwa sebuah perahu harus terus berlayar, sehingga kita “dipaksa” untuk terus berusaha dan mampu menyesuaikan diri dengan riak dan ombak yang nanti mungkin akan kita hadapi. Hingga kita pun akan terkejut mendapati diri kita mampu melalui apa yang selama ini tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

A smooth sea never made a skillful sailor, right?

 

*******

 

– pim251015 –

#ArisanNulis #Week4 #Perahu

 

*foto diambil dari plus.google.com

Doing something we love is fun, right? And I love food traveling, reading, watching movie, writing, and crafting sometimes..:-) -- Seorang farmasis, karyawan di salah satu perusahaan farmasi di Indonesia :) Yang meyakini bahwa menjadikan pekerjaan sebagai hobi, atau menjadikan hobi sebagai pekerjaan adalah sesuatu yang luar biasa..!! -- Yang suatu saat bisa berkata : "People call it work, but I call it hobby" --

Leave a reply