Sejak menyelesaikan serial Grey’s Anatomy season 11 beberapa minggu yang lalu, saya tergoda untuk kembali mengikuti serial ini mulai dari season 1. Pertama, karena seingat saya memang dulu tidak mengikuti serial ini mulai awal. Kedua, karena rata-rata jam tayang waktu itu sudah larut malam, jadi ada beberapa episode yang terlewat. Ketiga, saya tertarik mengetahui bagaimana perjalanan para dokter bedah di Seattle Grace Hospital ini bermula.
Semalam saya sudah sampai pada season 2. Pada episode ke-12, diceritakan ada salah seorang pasien anak laki-laki yang akan menjalani transplantasi jantung untuk kedua kalinya. Yup, sebelumnya ia telah menjalani tranplantasi jantung, namun selang beberapa waktu, kondisi jantungnya kembali memburuk. Setelah berada dalam daftar tunggu penerima donor selama dua tahun, akhirnya sebuah jantung baru siap ditransplantasikan. Namun ada satu yang mengejutkan. Respon si anak ternyata tidak menunjukkan antusiasme, malah cenderung menolak.
“I heard the nurses talking, the heart came from some other kid. Some other kid had to die so I could live. So for the last two years my mom has been praying that another kid would die for me. That’s what you pray for all the time. Isn’t it, Mom?” tanya si anak beberapa jam setelah operasi.
Saya bukan seorang ibu dari anak penerima donor itu, tapi saya cukup yakin hati ibu mana yang tidak akan patah mendengar pertanyaan itu dari buah hatinya yang sedang struggling untuk hidup? But wait, he’s not struggling. He’s on his way of giving up.
Kondisi organ donor bagus. Operasi transplantasi jantung berjalan lancar. Hanya saja tanda-tanda vital tubuh si anak tidak menunjukkan hal itu. Dari semua kemungkinan yang dapat dijelaskan secara medis, dr. Burke, dokter bedah yang menangani pasien ini meyakini bahwa ada hubungan antara tubuh, pikiran, dan jiwa manusia yang kadang tidak dapat dijelaskan secara medis. Jelas sekali bahwa sejak awal si anak menolak untuk menerima tranplant. Jelas sekali bahwa si anak tidak ingin berjuang karena ia merasa tidak berhak mendapatkan jantung itu, sehingga kondisi fisik tubuhnya pun mengamini hal tersebut.
“He has to fight for it. Decide he wants to live,” kata dr. Burke kepada dr. Yang, dokter magang di bawah pengawasannya, ketika dr. Yang bertanya apakah ada hal yang mereka lewatkan.
Hingga malam harinya dr. Yang berbicara kepada si anak.
“I think you should decide to live. Live so you can be a doctor and you can find a way to do heart transplants without someone having to die. Live so you can grow up and have kids. Just decide to live. Because in your case, dying really isn’t the best revenge.”
Semalam setelah itu, semua tanda-tanda vital tubuh si anak membaik. Blood pressure normal, heart rate berada pada angka yang baik.
Dan sebagaimana keyakinan dr. Burke, saya pun meyakini hal ini. Tubuh, pikiran, dan jiwa kita memiliki hubungan khusus yang bahkan kita sendiri seringkali tidak menyadarinya. Mungkin kita bukan pasien yang masuk dalam daftar tunggu penerima donor. Tapi kalau kita ingat kembali, mungkin banyak hal yang menempatkan kita pada posisi siap menyerah. Dengan alasan apapun mencari pembenaran untuk meyakinkan diri kita sendiri bahwa kita tidak pantas untuk mendapatkan sesuatu yang sekarang kita miliki.
Whatever it is, just remember to be careful about what we are talking to ourselves, because our mind are listening. Our body are listening. Our soul are listening. No matter how struggle that we’re trying to get through, just.. decide to survive. Decide to live. Live happily. Live the life you’ve imagined. Decide to be happy.
ps : I don’t say this gonna be easy, but it’s worth to try 😉
#NulisRandom2015
– pim 010615 –