Beberapa bulan yang lalu saya mencoba menanam biji bunga matahari. Entah bagaimana bunga bermahkota kuning yang besarnya hampir seukuran telapak tangan orang dewasa itu selalu menarik perhatian saya. Bahkan saya pernah menulisnya di dalam cerpen saya yang berjudul “Lelaki Berambut Perak”.
Percobaan pertama yang saya lakukan cukup menggembirakan. Sekitar satu minggu setelah menanam bijinya sesuai petunjuk (bagian yang runcing menghadap bawah), betapa girangnya saya ketika melihat dua helai daun kecil mulai menyembul dari tanah. Saat itu saya menanamnya langsung di tanah di halaman depan rumah karena menurut salah seorang teman yang sudah berpengalaman menanam biji bunga matahari, ukuran bunga matahari berbanding lurus dengan luas media tanamnya. Namun karena kurang sinar matahari (waktu itu sedang rajin turun hujan), sedangkan pertumbuhan bunga matahari membutuhkan setidaknya 6-8 jam sinar matahari setiap harinya. Hingga beberapa minggu kemudian mereka menguning sebelum akhirnya layu dan mati.
Percobaan kedua saya lakukan dengan menanamnya dalam pot berukuran besar, dengan harapan bisa lebih mobile. Ketika sinar matahari cukup, potnya bisa dikeluarkan, sedangkan ketika mulai turun hujan, potnya bisa kembali dipindahkan ke teras. Ribet, tapi demi berhasilnya percobaan kedua ini, cara ini tetap saya jabanin :p
Mereka pun survive, bahkan sudah mulai muncul kuncup pada bulan ke-2. Dan mereka berbunga pada bulan ke-3, yeay…! Meskipun ukurannya tidak sebesar bunga matahari yang pernah saya jumpai, hehe. Setelah berkonsultasi dengan teman saya, bisa jadi karena kurang pupuk. Lalu ia menunjukkan bunga matahari yang ia tanam, yang menurut saya dengan cara yang lebih oke dari saya 😀 Bunganya besar, seukuran telapak tangannya. Seperti bunga matahari pada umumnya 😀
Sekarang saya sedang mencoba menanam sesuai dengan yang ia lakukan. Di tanah bebas, cukup sinar matahari (kebetulan saat ini hujan tampaknya lupa untuk singgah), menyiram dua kali sehari, dan memberinya pupuk. Semoga kali ini berhasil berbunga dengan normal 😀
Saya jadi teringat sebuah wawancara kerja yang saya ikuti sekitar lima tahun yang lalu. Beliau yang mewawancarai saya mengatakan bahwa setiap tanaman memiliki karakternya masing-masing dan membutuhkan lingkungan yang sesuai dengan karakternya untuk bisa tumbuh dengan baik. Saat itu beliau memberi contoh pohon pepaya. Pada lingkungan dengan kondisi tanah yang pas, ia akan tumbuh segar dan berbuah lebat. Namun jika kondisi tanahnya tidak sesuai, maka ia akan kering atau malah membusuk. Begitu pula kita. Setiap orang pasti akan bertumbuh. Jika tidak, maka bisa jadi lingkungan kita yang tidak sesuai dengan apa yang kita butuhkan.
Saya juga pernah mendengar dari salah seorang penjual tanaman yang pernah saya temui bahwa kita sebaiknya tidak menyiram terlalu banyak tanaman yang baru saja dipindah atau diganti media tanamnya. Kita hanya perlu memberinya waktu untuk beradaptasi.
Pernahkah menemui seorang anak yang tidak pernah mendapatkan nilai bagus di mata pelajaran kesenian, tetapi mendapatkan nilai tertinggi di mata pelajaran biologi atau sebaliknya? Atau pernahkah menjumpai seorang karyawan yang memiliki track record sebagai top performer di perusahaan tempat ia bekerja sebelumnya, namun tampak seperti karyawan “biasa” di tempat kerjanya yang baru?
So, why judge too soon? Mungkin mereka sedang struggling untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
Why assume they’re not good enough? Mungkin lingkungan mereka yang kurang atau tidak sesuai. Beri mereka waktu untuk mencoba tumbuh.
Atau mungkin kita yang kurang bisa “menyemai” dan “menumbuhkan” apa yang terbaik dari mereka?
*******
#NulisRandom2015
– pim 080615 –