Mencari teman bicara yang asyik itu gampang-gampang susah. Begitu pun menjadi teman bicara yang asyik juga tidak kalah gampang-gampang susahnya. Sebagai makhluk sosial, setiap orang memiliki kecenderungan untuk berkumpul bersama orang lain. Hehe, terdengar seperti mata pelajaran sosiologi, tapi memang begitulah. Dan ada satu hal lagi yang menjadi kecenderungan. Setiap orang berkumpul dengan orang lain yang setidaknya memiliki satu kesamaan dengan dirinya. Entah itu kesamaan akan sesuatu yang disukai atau malah sesuatu yang tidak disukai. Sama-sama suka membaca novel atau sama-sama tidak suka film horor, misalnya. Dari hal yang sederhana semacam itu, mulai timbul rasa nyaman saat berinteraksi. Pernahkah menjumpai atau bahkan mengalami ada seseorang yang mengobrol dengan rekannya terus menerus, seakan tidak akan pernah kehabisan sesuatu untuk dibahas? Jawabannya pasti pernah.
Kecenderungan semacam ini sangat wajar. Bahkan tanpa disadari sebenarnya sudah dimulai sejak kita masih anak-anak. Kemarin di kantor saya sedang ada program Dexan Junior Day. Sebuah program bagi putra dan putri para karyawan yang berusia 4 tahun ke atas untuk datang ke kantor orang tua mereka, mengenal secara umum pekerjaan yang sedang dilakukan oleh orang tua mereka. Kebetulan rentang usia peserta anak-anak yang datang kemarin cukup lebar. Paling kecil berusia sekitar 4 tahun dan yang paling besar berusia sekitar 12 tahun. Dari situ tampaklah kecenderungan itu. Mereka memiliki kecenderungan untuk memilih teman bermain dengan yang usianya sebaya, supaya lebih “nyambung”. Bukankah juga begitu yang kebanyakan dari kita alami?
Hal ini membawa ingatan saya mundur belasan tahun ke belakang, ketika nenek buyut saya masih ada. Entah sudah berapa usia beliau saat itu. Yang sering beliau ceritakan, beliau masih berusia belasan tahun ketika Jepang masih menduduki Indonesia. Ketika masih SD, saya sangat suka mendengarkan beliau bercerita sambil nonton televisi dan menikmati nasi goreng buatan beliau yang selalu membuat saya ketagihan. Namun ketika beranjak SMP, cerita yang tadinya tidak pernah bosan saya dengar itu mendadak menjadi terlalu usang. Mungkin karena teman-teman saya bertambah banyak. Mungkin karena dunia saya menawarkan lebih banyak cerita daripada yang dimiliki oleh nenek buyut saya. Saya pun mulai menanggapi cerita beliau dengan sekadarnya.
Namun rupanya Allah terlalu sayang dengan nenek buyut saya, hingga Dia “menegur” saya dengan halus. Ketika salah seorang nenek tetangga saya yang usianya terpaut sedikit dengan nenek buyut saya meninggal dunia. Saya masih ingat, sore itu sambil duduk di teras bersama saya di sampingnya, nenek buyut saya berucap, “Oalah, Mak Wati sudah meninggal tiga bulan lalu. Sekarang Mak Rus. Teman-temannya Yut sudah habis.”
Mendengar itu, mendadak ada sesuatu yang terasa perih di dada saya. Dan saya tahu apa penyebabnya. Bukan apa yang dikatakan oleh nenek buyut saya yang membuat dada saya terasa tertusuk sesuatu, melainkan bagaimana beliau mengatakannya. Beliau kesepian. Mungkin beliau menyadari cicit yang dulunya menjadi teman bicaranya telah memiliki dunianya sendiri.
Dan tidak perlu waktu lama bagi saya untuk memahami arti tatap mata beliau yang berkaca-kaca sore itu. Saya sengaja menanyakan mengenai kehidupan beliau ketika masa pendudukan Jepang. Lalu beliau mulai bercerita. Dan tidak seperti yang saya lakukan beberapa bulan sebelumnya, sore itu saya menanggapi beliau dengan antusias. Hingga giliran mata saya yang berkaca-kaca ketika melihat tatap mata beliau mulai kembali “terisi”. Hanya karena beberapa menit pembicaraan yang kami lakukan. Hanya karena memiliki seorang teman bicara.
Meski beberapa tahun kemudian, menjelang akhir usia beliau sudah mulai pikun dan kerap menguji kesabaran karena tidak jarang menanyakan atau membicarakan sesuatu yang sama berulang kali hanya dalam waktu kurang dari lima belas menit 🙂 Setidaknya beliau tahu bahwa beliau masih memiliki teman bicara. Tidak sendiri. Tidak perlu merasa kesepian.
Salah satu teman saya pun pernah bercerita tentang pengalamannya mengunjungi sebuah panti wreda bersama kelompok pengajiannya. Pada kunjungan itu, wajah nenek-nenek penghuni panti tersebut tampak ceria. Sebagian besar dari mereka senang karena memiliki teman untuk berbagi cerita.
Begitu pun orang tua kita, nenek dan kakek kita. Mereka mungkin sudah tidak sanggup lagi mengejar pesatnya kemajuan dunia yang anak atau cucu mereka sedang selami saat ini. Mereka mungkin akan sulit menerima penjelasan apa itu tablet, wi-fi, dan lain sebagainya. Namun entah mengapa saya yakin bahwa mereka tidak akan pernah merasa keberatan jika kita sedikit saja mengajak mereka mengenal dunia kita. Jika mereka bisa melakukannya, entah mengapa saya juga yakin bahwa kita sebenarnya tidak keberatan jika kita sedikit saja meluangkan waktu untuk mengenal dunia mereka. Menjadi teman bicara mereka. Sesederhana itu.
*******
#NulisRandom2015
– pim 160615 –
*sumber foto :
http://fineartamerica.com/featured/growing-old-together-terry-holliday.html
https://whisper.sh/whisper/0510d7548a53eb917931d537768284d957c3ab/Love-your-parents-we-are-so-busy-growing-up-that-we-forget-that-they-ar