• facebook
  • instagram
  • twitter
  • mail
The Last Bite

The Last Bite

oranges

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah novel berjudul Critical Eleven yang ditulis oleh salah seorang penulis favorit saya, Ika Natassa. Critical Eleven sebenarnya diambil dari istilah yang digunakan dalam dunia penerbangan, menunjukkan sebelas menit yang sangat menentukan yaitu tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing. Ika Natassa membawa istilah ini dalam keseharian kita, yaitu ketika berkenalan dengan orang baru. Tiga menit setelah say hello dan delapan menit sebelum say goodbye. Tiga menit pertama yang menentukan bagaimana kesan yang orang lain tangkap ketika bertemu kita dan delapan menit terakhir yang mungkin meninggalkan kesan, mungkin juga tidak sama sekali. Menarik.

Kita pasti sering mengalami hal serupa. Mulai dari sekadar sapaan ramah seorang penjual yang menawarkan barang dagangannya ke kita, memberikan informasi yang kita perlukan, hingga beberapa menit terakhir yang kemudian kita jadikan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan apakah kita akan membeli dari dia atau tidak. Kadang keputusan seperti itu ditentukan oleh hal yang sederhana. Pernahkah batal melakukan penawaran atau membeli sesuatu hanya karena penjual tampak kurang bersahabat? 😀

Sepertinya hal ini juga berlaku dalam penulisan sebuah cerita. Ada banyak tulisan yang membahas mengenai bagaimana membuat kalimat pembuka dan kalimat penutup cerpen yang baik. Yang menggigit. Yang menentukan apakah pembaca akan melanjutkan membaca cerita atau tidak. Yang menentukan apakah ending cerita tersebut berkesan atau tidak. Bahkan ada penerbit yang cukup mensyaratkan pengiriman tiga puluh halaman pertama naskah sebuah novel sebelum penulis diminta mengirimkan naskah lengkap.

Saya teringat percakapan dengan salah seorang teman saya usai ia menghabiskan makan siangnya beberapa waktu lalu.

“Jeruknya manis nggak?” tanyanya ketika melihat saya menikmati beberapa potong jeruk.

“Manis. Mau?”

“Mau dong. Jeruk terakhir yang kumakan tadi asem.”

Saya pun menyodorkan beberapa potong jeruk kepadanya.

“Satu aja cukup. Sekadar menghilangkan rasa asem yang terakhir tadi. Biar rasa terakhir yang tertinggal manis.”

Usai memasukkan gigitan terakhir ke dalam mulutnya, wajahnya yang tadi tampak muram kini tersenyum. Sesederhana itu. Satu gigitan terakhir yang mampu menghapus kesan rasa asam yang sebelumnya ia rasakan.

Suatu saat nanti kita mungkin akan berada pada posisi teman saya yang berharap mendapatkan gigitan terakhir untuk menghapus kesan tidak menyenangkan dari jeruk terakhir yang ia makan. Kita mungkin juga akan berada pada posisi orang yang akan memberikan potongan jeruk kepada orang lain. Dan ketika kita berada pada posisi ini, maukah kita memberikan potongan jeruk itu? Sekadar memberi kesempatan kepada orang lain untuk menikmati gigitan terakhir mereka.

Gigitan terakhir itu bisa berupa seulas senyum, ucapan maaf, atau ucapan terima kasih pada orang yang telah membantu kita, pada suami kita sepulang dia dari bekerja, pada rekan-rekan kerja kita, pada operator customer care, pada abang ojek, dan pada sebanyak lagi orang yang mungkin mengharapkan mendapatkan “gigitan terakhir”. Satu gigitan terahir yang mampu menghapus hal-hal tidak menyenangkan yang mereka alami hari itu. Satu gigitan terakhir yang mungkin akan meninggalkan seulas senyum di wajah mereka.

 

*******

 

– pim 041015 –

 

#ArisanNulis
Foto diambil dari pamgrout.com

 

Doing something we love is fun, right? And I love food traveling, reading, watching movie, writing, and crafting sometimes..:-) -- Seorang farmasis, karyawan di salah satu perusahaan farmasi di Indonesia :) Yang meyakini bahwa menjadikan pekerjaan sebagai hobi, atau menjadikan hobi sebagai pekerjaan adalah sesuatu yang luar biasa..!! -- Yang suatu saat bisa berkata : "People call it work, but I call it hobby" --

Leave a reply