“Secakep-cakepnya pemandangan, kalau nggak ada model seganteng aku ya nggak sempurna.”
Segaris senyum otomatis tersungging di bibirku mendengar suara dari ponsel yang menempel di telinga kananku. Spontan kuedarkan pandangan ke sekitar, sekadar berusaha menemukan sosok yang sudah bertahun-tahun belakangan ini tidak kujumpai secara langsung. Dan di sanalah dia. Tangan kanannya masih memegang ponsel, sementara tangan kirinya melambai padaku, hingga kemudian kudengar nada sambungan telepon kami terputus.
Sebelum berangkat ke pulau ini, aku tahu kemungkinan akan berjumpa dengannya sangat besar. Hanya saja aku tidak menyangka akan berjumpa dengannya pada hari pertama liburanku di sini.
“Selamat datang di Pulau Lengkuas.” Sapanya sambil tersenyum. Senyum asimetris khas miliknya. Senyum yang selalu dia banggakan dan dielukan banyak adik angkatan perempuan kami. Senyum yang selalu kubalas dengan putaran kedua bola mataku. Seperti siang ini.
“Adjie…”
“Hahaha… kamu masih suka memutar bola mata seperti itu?”
“Selama kamu masih suka membanggakan senyum andalanmu itu.”
Tawanya meledak. Sudah lama aku tidak mendengar tawa lepasnya. Aku pernah mendengar bahwa hal paling mustahil tentang sebuah kenangan adalah bukan bagaimana kita ingin melupakannya, melainkan bagaimana kita ingin mengulangnya. Aku yakin tidak ada satu kejadian pun yang kita alami bisa terjadi dua kali sama persis. Namun siang ini, entah mengapa semuanya menjadi tidak lagi mustahil. Aku dan dia sedang berada di pantai yang sama. Memandang ombak yang sama. Menghirup aroma pantai yang sama.
“Masih suka diving?”
Aku hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Tentu saja tidak ada cukup waktu bagiku untuk diving. Namun aku tidak mengatakannya. Kalau orang yang sedang berdiri di hadapanku ini masih sama seperti Adjie yang kukenal di bangku kuliah dulu, maka tidak sempat bukanlah sebuah alasan yang bisa dia terima untuk tidak melakukan sebuah hobi. Dan dia pasti akan terkejut mengetahui ini adalah liburanku ke pantai untuk pertama kalinya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini. Tepat sejak aku resmi menjadi peneliti di salah satu pusat penelitian biomolekuler dengan target penyelesaian proyek sangat ketat. Kembali berada di pantai dengan semua aroma khasnya seperti kembali ke masa lalu.
“Kita ke sana.” Ajaknya menunjuk sebuah mercusuar.
Aku kembali memutar bola mata. Dia masih Adjie yang dulu kukenal. Tidak memberi kesempatan padaku untuk berpikir ketika dia mulai berlari kecil dengan arah mundur untuk memastikan aku mengikutinya. Dari tempat kami mulai berlari, mercusuar itu begitu kokoh dan angkuh, namun tampak kesepian. Well, apakah aku baru saja mendeskipsikan sebuah mercusuar atau Adjie?
“Hidup itu tidak melulu tentang science. Ada hal-hal yang nggak perlu dianalisis terlalu detail.” Itu kalimat yang selalu diucapkannya tiap kali aku sulit memutuskan sesuatu, bahkan hal paling sederhana sekalipun. Kalimat itu kini kembali dia ucapkan ketika aku bisa mensejajari langkahnya. Kami memperlambat laju langkah kami dan mulai berjalan mendekati sebuah mercusuar tua yang dibangun oleh Kolonial Belanda pada tahun 1882 itu. Aku bisa membayangkan bagaimana Adjie akan tertawa terbahak-bahak jika tahu aku mengingat tahun berapa mercusuar itu dibangun. Dia pasti bisa menebak aku telah melakukan beberapa riset lebih dulu sebelum berangkat ke Pulau Lengkuas ini.
Itulah yang membedakan kami. Hingga saat ini aku masih bertanya-tanya bahwa seharusnya dia tidak terlahir sebagai seorang peneliti. Dia lebih cocok menjadi pemain band, mengingat dia sangat mahir memainkan gitar dan drum. Atau atlet, mengingat tubuhnya yang atletis. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat untuk mengusir bayangan itu. Hanya sebuah kacamata tanpa bingkai yang memberinya sedikit sentuhan bahwa dia adalah seorang peneliti.
“Jadi, kenal dia dari mana?” tanyanya tiba-tiba.
Aku mengernyit, berusaha memahami pertanyaannya.
“Kenal siapa?”
“Bos kamu yang susah kasih izin cuti ke anak buahnya itu.”
“Hah?” aku makin mengernyit, sebelum disusul ledakan tawanya.
“Ya kenal calon suami kamu, Sekar. Ngapain aku mau tahu tentang bos kamu?”
Ah, aku berharap Adjie tidak menyadari perubahan rona wajahku. Aku meninju bahunya untuk menghentikan tawanya. Keras. Justru jemariku yang sakit.
“Kenal di pesawat. Dia duduk di sebelahku.” Jawabku setelah tawanya mereda.
“Hah? Serius?” kini giliran dia yang mengernyit. Sebuah ekspresi yang sama sekali di luar dugaanku. Tadinya aku menduga dia akan kembali menertawakanku.
“Iyaaa, aku tahu terdengar sinetron banget. Dan kamu adalah orang ke seribu delapan ratus dua puluh tujuh yang berkomentar begitu.”
“Seorang Sekar akan menikah dengan orang asing yang dia kenal di pesawat?”
“Ya mau nikahnya setelah kami kenal dan dekat hampir 2 tahun, kaliii…” Tadinya aku akan kembali meninju lengannya, tapi urung mengingat pukulanku sebelumnya justru menyakiti jemariku sendiri.
“Dia peneliti juga?”
“Bukan. Dan sejak kapan kamu tertarik dengan urusan pribadi yang menyangkut hal-hal emosional seperti ini? Serasa punya sahabat cewek aja.” Tukasku datar.
Lalu dia tertawa. Aku lebih senang mendengarnya tertawa seperti itu daripada melihatnya mengernyitkan dahi dan terlihat serius.
“Kamu gimana? Dia tinggal di sini juga?” aku balik bertanya.
“Siapa?”
“Asisten rumah tangga kamu.” Balasku sambil memutar kedua bola mataku.
Dia kembali tertawa.
“Kamu tuh benar-benar nggak tahu perkembanganku, ya? Katanya sih sahabat…”
“Lhooo, Vanya kan? Atau sudah ganti yang lain?”
“Dia dapat tawaran kerja di Australia. Tawaran yang besar. Dan kami sama-sama nggak mau menjalani hubungan jarak jauh. ”
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasannya. Lihatlah kita, Adjie. Betapa kita bisa berjalan bersisian di tepi pantai sambil membicarakan pasangan kita masing-masing. Seharusnya wajar bagi dua orang sahabat lama. Seharusnya. Hanya saja, apa yang pernah terjadi bertahun lalu terasa sulit untuk bisa dipahami bagaimana kita masih bisa sedekat ini.
“Kenapa, Sekar?”
Lagi-lagi pertanyaan yang selalu dia sampaikan sepotong demi sepotong itu membuatku mengernyitkan kening.
“Kenapa kamu bisa dekat dan jatuh cinta pada orang asing yang kamu temui di pesawat?” jelasnya, seakan tahu bahwa aku tidak mengerti maksud pertanyaannya.
“Hellooo… Kita berdua juga awalnya adalah dua orang asing. Tapi kita bisa dekat.” Aku berusaha berkata lugas seperti yang biasa kulakukan ketika berbincang dengannya.
“Tapi nggak jatuh cinta, Sekar. Setidaknya kamu yang nggak jatuh cinta…”
Kali ini kulihat senyum asimetris itu di wajahnya. Aku hanya menyenggol bahunya. Lalu kami tertawa. Derai tawa yang membawaku pada satu kenangan di malam itu. Ketika dia mengatakan akan mengambil kesempatan menjadi peneliti terumbu karang bersama salah satu LSM internasional. Aku tidak sanggup menyembunyikan tangisku malam itu.
“Aku akan batalin kalau kamu minta.” Ucapnya malam itu, bertahun-tahun lalu.
“Kamu gila kalau sampai batalin hanya gara-gara aku.”
“Serius, Sekar. ”
Aku menggeleng kuat sebelum berkata, “Aku lebih gila lagi kalau sampai minta kamu untuk batalin kesempatan itu.”
Selama lebih hampir empat tahun bersahabat dengannya, malam itulah kami tidak saling mengejek dan berdebat untuk pertama kalinya.
“Aku serius, Sekar. Kalau kamu ingin aku tetap di sini, aku akan tinggal. Aku.. aku sayang kamu…”
Hanya ada sepersekian detik yang hening setelah dia mengucapkan tiga kata itu sebelum aku membalasnya hanya dengan ucapan, “Kamu gila.”
Dia hanya mengusap kepalaku, tidak membalas ucapanku. Tidak ada senyum asimetris di wajahnya. Dari situ aku tahu bahwa apa yang dia ucapkan adalah sungguh-sungguh. Setelah itu kami tidak pernah lagi membicarakannya.
“Kamu masih menyimpan keyakinan konyolmu yang dulu pernah kamu bilang?” tanya Adjie membuyarkan ingatanku.
“Bahwa lebih baik jatuh cinta pada orang asing. Jika semua berjalan dengan baik, ia bisa menjadi sahabat. Namun jika tidak, kita hanya akan kehilangan seorang asing. Daripada jatuh cinta pada sahabat, jika semua berjalan baik, maka itu adalah hal terbaik yang pernah terjadi pada seseorang. Namun jika tidak, kita akan kehilangan seorang sahabat. Dan itu adalah hal terburuk yang pernah terjadi pada seseorang.” Lanjutnya.
Aku tertegun, tidak percaya ia masih mengingat apa yang pernah kuucapkan padanya sebelum ia pergi meninggalkan Bandung. Every single word.
“Aku tidak pernah salah, Sekar. Tidak pernah.” Ucapnya menyombongkan diri.
Aku menggeleng-gelengkan kepala seraya heran bagaimana dia tidak pernah salah menebak apa yang selalu kupikirkan, bahwa keyakinan itu masih kusimpan. Dia tidak salah saat terkejut mendapati seorang Sekar yang tidak pernah nyaman mengobrol dengan orang asing dalam perjalanan ternyata justru akan menikah dengan orang yang dikenalnya di pesawat. Dia tidak pernah salah tentang banyak hal, kecuali satu. Bahwa aku tidak pernah jatuh cinta kepadanya.
Mungkin aku pengecut. Hanya karena pernah gagal menjalin hubungan dengan sahabatku sendiri, hingga aku menganggap jatuh cinta pada sahabat itu terlarang. Hingga aku mengenal Adjie dan dekat dengannya. Aku merasa Tuhan sedang memberiku kesempatan kedua untuk memiliki seorang sahabat. Dan kali ini aku tidak mau meminta lebih. Kenyataan bahwa kini kami sedang berada di puncak mercusuar, memandang laut yang sama, memutar kenangan yang sama. Aku tidak butuh lebih dari ini. This is enough.
*******
– pim130515 –
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis